MENJELASKAN KETU(H)ANAN YESUS KRISTUS

DALAM DIALOG KRISTIAN-ISLAM

 

Neum Yahwe ladonay, Syev liyaminiy. "Firman TUHAN kepada Tu(h)anku:Duduklah di sebelah kanan-Ku." (Mazmur 110: 1).
Rabbi Yodan berkata atas nama Rabbi Ahan Bar Haninan,
"Yang Mahaesa (TUHAN) akan menempatkan Raja Messiah duduk di sebelah kanan-Nya"

(Yakut Shimoni Tehilim 110).[1]

 

Salah satu "batu sandungan" dan salah-pahaman dalam dialog teologis Kristian-Islam adalah masalah Ketu(h)anan Yesus. Mengapa seorang Nabi dipertuhan? Padahal sudah ditegaskan bahwa "Tidak ada Tuhan selain Allah". Begitu biasanya ungkapan Laa ilaha ilallah biasanya diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Konkretnya, dalam bahasa Indonesia biasanya umat Islam tidak membedakan istilah Arab ilah (Inggeris: God) dan Rabb (Inggeris: Lord). Keduanya diterjemahkan "Tuhan". Bahkan, pada umumnya dalam bahasa Indonesia lebih dikenal istilah Ketuhanan untuk kata Inggris "Godhead" (bandingkan: "Ketuhanan Yang Mahaesa") ketimbang istilah "Keilahian" (Arab: Lahutiyah).

Penyamarataan itu sumber salah faham. Sebab dalam Kristian cukup dibedakan makna keilahian dan ketuhanan dalam kaitannya dengan perbincangan tentang keesaan Allah dalam Kristus. Maksudnya, sebutan "Tuhan Yesus" sama sekali tidak bertujuan mengadakan ilah selain Allah, atau menyejajarkan kemanusiaan Yesus dengan Allah. Yesus disebut Tuhan dalam makna Rabb (Gusti, Penguasa) karena Allah telah melimpahkan kuasa-Nya di langit dan di bumi bacalah Matius 28:20; Kisah Para Rasul 2:38; Filipi 2:11).

IDRIES SHAH : MEMAHAMI "BAHASA AGAMA" LAIN

Mengingat istilah-istilah keagamaan dalam bahasa Indonesia banyak berasal dari bahasa Arab, cukup relevan kiranya kita semak pemikiran Idries Shah dalam The Elephant in the Dark.[2] Penulis Sufi ini menekankan pentingnya penggunaan bahasa Arab bersama-sama di lingkungan Kristian dan Islam, untuk terciptanya saling pengertian. Mencontohkan salah satu kendala dialog teologis Kristian-Islam, Idries Shah mengutip daripada Geoffrey Parrinder, dalam bukunya Jesus in the Qu'ran, (3) yang mengingatkan pembaca bahasa Inggeris mengenai makna Ketuhanan Yesus (the Lordship of Jesus).

Yesus diberi gelar Lord sebagai gelar penghormatan. Dalam bahasa Arab ditemukan paralelnya as-Sayid (Gusti, Pangeran) - suatu gelar yang juga ditetapkan bagi Nabi Muhammad (Sayidina Muhammad). Karena itu, dengan tanpa masalah, M. Kamel Husayn dalam bukunya City of Wrong (buku aslinya ditulis dalam bahasa Arab, Qaryah dhalimah), yang menelaah kota suci Yerusalem pada hari Jumaat kudus (penyaliban Kristus) dari sudut pandang seorang Muslim, gelarkan Isa Sayid al-Masih (the Lord Christ) digunakan secara teratur.

Patut diperhatikan bahwa kendati penerapan gelar as-Sayid itu bagi Yesus ataupun Muhammad dapat diperbandingkan tetapi tidak sepenuhnya dapat dipersamakan. Maksudnya adalah alasan teologis di belakang penerapan gelar yang sama tersebut. Patut diketahui bahwa dalam Alkitab bahasa Arab baik sebutan ar-Rabb maupun as-Sayid muncul sebagai terjemahan nama-nama Allah Yhwh (TUHAN) dan Adonay (Tuhan). (4)

Karena itu, Idries Shah juga menekankan perlunya "pengelompokan-pengelompokan arti dalam bahasa Arab bagi orang Arab Kristian dan Arab Muslim, serta mereka yang berbahasa Arab merupakan bagian-bagian warisan bersama mereka". (5)

Seperti dikemukakan di atas, iman Kristiani membedakan antara makna keilahian Yesus (the Divine/Godhead of Jesus) dan ketuhanan Yesus (the Lordship of Jesus). Keilahian Yesus menunjukkan Firman Allah yang kana hadza qadiman 'indallah (kekal bersma Allah) dan selalu melekat (qai'mah) dalam Dzat-Nya (Yohanes 1:1-3). Sebanding dengan penghayatan teologi Islam mengenai Alquran sebagai Kalam nafsiy (Sabda yang kekal). Meskipun demikian, keilahian Firman Allah dalam iman Kristian tetap dibedakan dan tidak dicampurkan dengan wujud nuzul Yesus sebagai manusia.


LATAR BELAKANG PENGHAYATAN YAHUDI

Untuk lebih jelasnya, kita dapat melacak latar belakang teologinya dari penghayatan Yudaisme tentang Allah da Messiah-Nya yang akan datang. Dalam pengharapan mesianik Yahudi, salah satu gelar Messiah akan datang adalah Adonay, "Tu(h)an". Sebagaimana disebutkan dalam Mazmur 110:1 yang berbunyi:

"Neum Yhwh ladonay, Syav le yaminiy."

Yakni : "Firman Yahwe (TUHAN) kepada Adonay (Tuanku), "Duduk-lah di sebelah kanan-Ku."

Menghubungkan Mazmur 110 dengan Messiah tidak hanya tradisi Kristian, tetapi sudah diawali lebih dulu oleh tulisan-tulisan para rabbi (ulamak Yahudi) sebelum zaman Kristian ataupun zaman sesudahnya. Misalnya, seperti ungkapan Rabbi Yodan yang mengajar atas nama rabbi Ahan bar Haninan, bahwa Yahwe sendiri yang memanggil Messiah sebagai Adonay dan akan menempatkan Messiah di sebelah kanan-Nya.

Tafsiran ini selain dijumpai Yalkut Shimoni (Tehilim 110), tercatat juga dalam Nedarim 32b dan Sanhedrin 108b. (6) Pemahaman Yahudi inilah yang melatarbelakangi khotbah Petrus dalam Kisah Para Rasul 2:36 bahwa Allah sendirilah yang telah menjadikan Yesus sebagai Tuhan dan Kristus. Sekali lagi, Tuhan di sini bukan dalam makna ilah selain Allah, melainkan sebagai rabbi (Penguasa) sesuai dengan pengharapan Yahudi.

Bagaimanakah makna lebih lanjut gelar Adonay bagi Messiah tersebut? Tradisi Yahudi tidak berani mengeja Nama Diri (ismu dzat, "proper name") Allah dalam bahasa Ibrani: yhwh (bacaan akademis yang diusulkan: Yahwe). Sebagai gantinya, mereka tetap membiarkan empat huruf suci itu dalam Taurat dengan membacanya ha-Syem (Sang Nama) atau Adonay (Yunani: Kyrios; Arami: Mara; Arab: Rabb atau Inggeris" Lord).

Pada akhirnya Allah sendiri memberikan gelar itu kepada Yesus sebagai messiah, Firman-Nya sendiri yang nuzul ke dunia. Karena itu Yesus telah bersabda:

"Segala kuasa di surga maupun di bumi telah dilimpahkan kepada-Ku" (Matius 28:20).

Makna pelimpahan kekuasaan dalam Matius 29:20 ini, sekalipun tidak persis sama, sejajar dengan ungkapan Alquran: Al-Masih 'Isa bnu Maryama wajihan di al-dunya wa al-akhirah (Q.s. ali Imran 3:45, "al-Masih 'Isa putra Maryam yang terkemuka di dunia dan di akhirat").
Nah, penerapan gelar Adonay bagi Sang Messiah berarti melalui Messiah-Nya Allah menyatakan keTu(h)anan-Nya. Dalam makna itulah, Yesus bi-idzinillah (dengan izin Allah) bergelar "Tu (h)an (Rabbi) dan Mesiah (al-Masih)" (Kisah Para Rasul 2:11).

Gelar yang menurut harapan mesianik Yahudi akan diterapkan bagi Raja Messiah ini juga berhubungan erat dengan ungkapan "duduk di sebelah kanan Allah". Mengapa? Ungkapan simbolik ini muncul dalam kaitan dengan pola bangunan Bait Suci (Ibrani: Beyt hammiqdash, Arab: "Bayt al-Maqdis") di mana istana raja-raja keturunan Raja Daud berada di sebelah selatan ruang Mahakudus (devir) Bait Allah yang menghadap ke timur. Ini berarti istana Daud berada "di sebelah kanan" ruang mahakudus yang melambangkan kehadiran Allah. Jadi, firman "syev liyaminiy" (duduklah di sebelah kanan-Ku) bermakna bahwa kekuasaan yang diberikan kepada Raja Messiah itu kekal selama-lamanya. Maksudnya, Allah menghendaki takhta raja Messiah itu kekal selamanya.


TIADA ILAH/SEMBAHAN (GOD) SELAIN ALLAH DAN

TIADA TUHAN (LORD) SELAIN KRISTUS

Dalam bukunya Ar-Radd al-Jamil li-ilahiyat 'Isa bi-syarih al-Injil, imam al-Ghazali setuju bahwa 1 Korintus 8:4 - 6 sebagai salah satu bukti Injili tentang keesaan Allah. Tafsirannya saja yang mungkin berbeda dengan iman Kristian.

Dalam sebuah terjemahan bahasa Arab, 1 Korintus 8:4 yang dalam bahasa Yunani diawali ungkapan: ada huruf Yunani :

oudeis theos eteros ei me eis

diterjemahkan "Laa ilaha ilallah" yaitu "Tidak ada ilah (atau sembahan) selain Allah".

Selanjutnya, menjelaskan ayat 6a yang menegaskan:

"faainna lana ilahan wahidan huwallah" (maka bagi kami hanya ada satu ilah/sembahan yaitu Allah) (7)

- kita setuju dengan komentar al-Ghazali mengenai konsekuensi ayat ini bahwa kita harus menghapuskan selain-Nya untuk memilki sifat keilahian. (8) Ini adalah konsekuensi dari tawhid al-uluhiya. Hanya kepada Allah semata-mata seorang menyembah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan yang lain.

Selanjutnya, 1 Korintus 8:6b menegaskan prinsip yang dapat dibandingkan dengan ajaran Islam tawhid al-rububiyah. Maksudnya, penegasan bahwa Allah adalah satu-satunya rabb al-'a-alamin (Tuhan/Penguasa alam semesta). Perbedaannya, dalam Kristian gelar kedua (rabb) ini ditetapkan kepada Yesus. "Wa lana rabbu wahidun wa huwa Yasu' al-Masih alladzi bihi kana kullu sya'in" (Dan bagi kita hanya ada satu rabb/Tuhan, yaitu Yesus Kristus, yang melalui-Nya segala sesuatu diciptakan). Mengapa? Ungkapan "melalui-Nya segala sesuatu telah diciptakan", menunjuk kepada Firman Allah yang kekal bersama Dzat Allah (Yohanes 1:3). Dan Firman Allah itu telah menjadi manusia.

Dalam kemanusiaan-Nya itu Yesus menjalankan tugas Ilahi sebagai Messiah, kepada siapa Allah telah menyerahkan "segala kuasa di surga dan di bumi". Dengan demikian, jelas bahwa dengan ajaran Ketu(h)anan Yesus itu umat Kristian tidak bermaksud mengadakan Tuhan selain Allah (arbabun min dunillah). Sebab sekali lagi seperti ditegaskan Filipi 2;11, Kristus adalah "ar Rabbu tamjidu lil-lah" (Tuhan/Rabb bagi kemuliaan Allah).

MAKNA GANDA GELAR TU(H)AN: MASALAH BAHASA

Masalah yang terakhir adalah soal salah paham dalam bahasa. Oleh karena bahasa Indonesia/Melayu tidak mengenal satu kata bermakna ganda, seperti istilah Adonay, Mara, Kyrios, Rabb, Lord atau Gusti/Pangiran. Karena itu, dalam penulisan-penulisan makalah di beberapa forum Islam, saya menaruh 2 tanda kurung di antara huruf (h) pada kata Tuhan sehingga saya sering disalahpahami, seolah-olah meragukan ketuhanan Yesus. Padahal sama sekali bukan itu maksud saya.

Untuk itulah saya perlu menjelaskan di sini. Seperti sudah saya singgung bahwa kata Tuhan dalam bahasa Indonesia pada umumnya lebih paralel dengan God, Ilah, Deus, Theos. Nah, seorang non-Kristian tidak mungkin bisa memahami ungkapan dalam bahasa Indonesia bahwa "Tuhan telah mati" karena latar belakang tersebut. Padahal, seorang Kristian bisa menerapkan hal itu pada bahasa-bahasa lain yang paralel: Adonay, Lord atau Gusti, yang mengandung makna Tuan ataupun Tuhan.

Ungkapan "Tuhan sudah mati" bagi pemakai bahasa Indonesia pada umumnya sama saja maknanya bila orang Kristian mengatakan "Allah sudah mati". Padahal kematian Yesus itu sama sekali tidak menyentuh keilahian-Nya sebagai Firman dan Kalam Allah.

Rasul Petrus menyaksikan bahwa Yesus "telah dibunuh dalam keadaan-Nya sebagai manusia" (1 Petrus 3:18). Padahal dalam diri Kristus, sekalipun telah dipersatukan kodrat ilahi dan kodrat insani sekaligus - menjadi "satu pribadi" (rumus Kalsedonia) atau "satu kodrat ganda" (rumus non-Kalsedonia) - Firman Allah dan kemanusiaan-Nya "tidak berbaur dan tidak berubah". Jadi, kematian tubuh yang dikenakan oleh Firman Allah itu sama sekali tidak menyentuh keilahian-Nya yang kekal.

Meskipun demikian, Allah yang kita sembah bukan ilah yang bersifat impalpabilitas (tidak mudah dijangkau dengan pikiran), laksana dewa-dewa Yunani yang diam, dingin dan apatis (tanpa rasa). Antara kemanusiaan dan keilahian-Nya sebagai Firman Allah juga "tidak terbagi dan tidak terpisah". Maksudnya, sekalipun Firman Allah sama sekali tidak merasakan atau dapat disentuh oleh maut, tetapi dengan kematian tubuh insani Yesus itu Allah turut "berbela rasa" dengan umat-Nya. Ibarat bendera Kerajaan yang merupakan kebangaan seorang raja. Ketika bendera itu diinjak-injak oleh pasukan musuhnya, hati raja terasa tercabik-cabik meskipun tubuhnya sama sekali tidak terluka.

Jadi, sekalipun Allah tidak dapat mati, dalam kasih-Nya Dia tetap "turut merasakan" kematian Yesus, Putra-Nya.

"Quddusu anta, yaa Ghayr al-maati",

demikian bunyi sebuah kidung berbahasa Arab yang lazim dinyanyikan di Gereja Ortodoks Syria dan masih dilafazkan hari ini:

"Ya man shulibta 'ana irhamna". (9)

Yang bermaksud :

"Kuduslah Engkau, Wahai Firman Allah yang tidak Berkematian, yang disalibkan bagi kami, kasihanilah kami."

Rujukan dan Referensi-referensi

Makalah ini diterbitkan dengan izin Saudara mas Bambang Noorsena dan disertakan penghargaan kepada beliau.

  1. Risto Santala, The Messiah in the Old Testament in the light of Rabbinical Writing (Jerusalem: Karen Ahvah Meshiht, 1992), hlm. 125.
  2. Idries Shah, Meraba Gajah dalam Gelap: Sebuah Upaya Dialog Kristian Islam, Jakarta: Pustaka Grafiti Press. 1986), hlm. 42.
  3. Geoffrey Parrinder, Jesus in The Quran (New York: Oxford University Press, 1977), hlm. 33- 34.
  4. Apabila nama yhwh muncul berdiri sendiri (dibaca: Adonay) dalam bahasa Arab diterjemahkan ar-Rabb (dengan kata sandang Al), tetapi apabila kedua kata muncul bersamaan: Yhwh Adonay diterjemahkan Ar-Rabb as-Sayid (Hab. 1:19).
  5. Idries Shah, Loc. Cit.
  6. Risto Santala, Loc. Cit.
  7. Imam al-Ghazali, Ar-Radd al-Jamil li-Ilahiyat 'Isa di-syarih al-Injil (Kaherah: Dar al-Hidayah, 1986). Teks yang dikutip ini bukan terjemahan harfiah, dalam edisi Beirut, 1992; Faalana ilahun wahidun wa huwa al-Ab" (Bagi kita hanya ada satu ilah yaitu Bapa).
  8. Al-Ghazali, Loc. Cit.
  9. Mar Jurjius Yuhanna Ibrahim (ed), Shalu li-ajlina: Khidmat al-Quddus wa Shalawat Syatta (Halab/Allepo: Dar al-Raha lil Nasyir, 1993), hlm. 42.

 


Indeks Utama