Abraham di Arab - Kata Siapa?
Islam mencatat penghormatan kepada tokoh Abraham yang ada di Alkitab sebagai salah seorang dari orang Muslim mula-mula (Quran 3:67) dan menempatkan setidaknya beberapa kegiatannya di dalam dan di sekitar Mekkah. Ia dianggap memiliki peranan yang signifikan dalam pembangunan Ka’bah (bangunan berbentuk kotak di pusat kota Mekkah) dan yang menetapkan ritual-ritual yang berkaitan dengan ibadah di tempat itu (Quran 2:125-127)5. Hanya ada satu permasalahan dengan seluruh skenario ini. Abraham jelas merupakan tokoh utama baik di dalam Yudaisme maupun kekristenan. Oleh karena itu orang Kristen dan orang Yahudi sangat berhati-hati dalam merekonstruksi gambaran hidup dan pergerakannya.
Semua refleksi ini terentang lebih dari satu milenium dan menempatkan kegiatan-kegiatan Abraham terutama di Mesopotamia dan Kanaan (secara kasar wilayah Israel dan Palestina modern). Pada titik ini, dengan hanya sekilas melihat peta, akan memberi kita petunjuk yang jelas. Lokasi Mekkah adalah ratusan mil jauhnya dari tempat Abraham beroperasi. Bukti apakah yang dapat menyerongkan lokasi tersebut ke tengah-tengah padang gersang? Sama sekali tidak ada, kecuali klaim berdasar iman yang berusia hampir dua milenia setelah hidup Abraham bahwa yang disebut sebagai ‘Bapa orang beriman’ itu memberkati jazirah Arab dengan kehadirannya. Selain dari klaim ini, ada kebisuan pekat dalam semua sumber mengenai anggapan perjalanan Abraham di padang gurun.
Kaum Quraysh: Suku Arab yang terhilang
Berdasarkan tradisi Islam, Muhammad dilahirkan dalam klan Banu Hisham dari suku Arab yaitu Quraysh. Suku ini digambarkan sebagai suku yang sangat berkuasa dan penting di seluruh jazirah Arab. Faktanya, mereka sangat penting sehingga bahkan orang Roma ingin sekali beraliansi dengan mereka. Tradisi Muslim menyatakan bahwa Quraysh pertama yang memerintah Mekkah menaklukkan kota tersebut dengan bantuan Roma.
Hanya ada satu permasalahan dengan kisah ini. Orang Roma (dan semua sumber kuno lainnya yang terkait) nampaknya sama sekali belum pernah mendengar tentang Quraysh! Referensi pertama mengenai Quraysh dalam dokumen historis apapun, bertanggal tidak lebih dari satu abad setelah jaman Muhammad. Pikirkanlah sejenak betapa menakjubkannya bagaimana suku yang dianggap dominan di jazirah Arab tidak berhasil meninggalkan satu jejak di halaman-halaman sejarah selama ratusan tahun. Fakta ini bahkan lebih mengejutkan ketika anda memerhatikan bahwa baik orang Roma dan orang Persia secara teratur mendaftarkan anggota-anggota suku-suku Arab untuk bertempur dalam peperangan-peperangan mereka dan untuk bertindak sebagai sekutu lokal. Oleh karena itu, mereka secara obsesif memerinci kamus geografis dari jazirah tersebut dan mendaftarkan semua suku dan wilayah-wilayah mereka. Yang sama sekali absen dalam kamus-kamus geografis ini adalah disebutkannya kaum Quraysh. Ini nyata alih-alih klaim orang Muslim bahwa kakek buyut Muhammad yaitu Hashim ibn ‘Abd Manaf mengunjungi istana Byzantium (Roma) secara pribadi untuk menegosiasikan perjanjian atas nama kaum Quraysh. Kita hanya dapat tiba pada konklusi berdasarkan bukti ini (atau sesungguhnya bukti yang sangat kurang) bahwa suku semacam itu sebenarnya tidak pernah ada.
Mekkah? Saya belum pernah mendengarnya sama sekali!
Berdasarkan narasi tradisi Islam, Mekkah adalah kota penting di jazirah Arab. Kota ini mendapat posisi tersebut karena merupakan pusat vital bagi perdagangan juga ziarah. Sehingga, sangatlah mengejutkan mendapati bahwa kota yang secara historis ini besar, yang adalah ‘Ibu semua kota’, sama sekali absen dari catatan sejarah hingga lama setelah kemunculan Islam. Pikirkanlah yang berikut ini:
Dokumen pertama yang menyebutkan Mekkah (sebagaimana yang akan kita lihat, selain dari Quran, dan referensi Quranik sama sekali tidak menolong sehubungan dengan informasi geografis) adalah Continuatio Byzantica Arabica pada tahun 740 M. Biarkan fakta ini tenggelam sejenak. Disini kita memiliki sebuah kota yang dipandang sebagai kota yang penting di jazirah tersebut, tetapi tidak ada referensi yang menyainginya selama lebih dari 100 tahun setelah dugaan kematian Muhammad. Ini adalah bagian dunia dimana geografi, orang-orang dan lanskap secara intens didokumentasi oleh para pedagang, para pejabat pemerintahan dan para pengembara. Absennya Mekkah dari catatan sejarah semakin mengherankan jika melihat pentingnya Mekkah sebagai pusat perdagangan yang kaya. Para pedagang seringkali menulis secara terperinci deskripsi rute-rute perdagangan, tetapi tidak satupun dari mereka yang nampaknya pernah mendengar sebuah tempat yang bernama Mekkah di tengah gurun pasir Arabia hingga lama setelah kedatangan Islam.
Ketika kita memerhatikan peta jazirah Arab, situasinya menjadi semakin lebih membingungkan jika kita mengikuti catatan tradisi Islam. Peta pertama yang memunculkan Mekkah bertanggal dari sekitar tahun 900 M, atau sekitar 300 tahun setelah Muhammad diperkirakan hidup disana. Mohon maafkan saya jika nampaknya seakan saya terlalu memaksa, tetapi ini sama sekali bukan untuk membingungkan! Mekkah sama sekali absen dari catatan kartografis kuno hingga lama setelah kemunculan Islam.
Lebih jauh lagi, faktor-faktor historis dan geografis dasar yang membuat eksistensi sebuah tempat perdagangan dan keagamaan kuno di lokasi kota Mekkah modern sama sekali tidak meyakinkan. Bahkan hanya dengan sekilas melihat peta akan mendemonstrasikan bahwa Mekkah tidak tidak terletak di persimpangan jalan natural. Oleh karena ini, bepergian kesana akan menempuh jalan lain melalui padang gurun sepi. Itu adalah hal yang pada masa itu tidak akan dilakukan oleh para pedagang yang hendak mencari untung. Kedua, peran Mekkah sebagai sebuah pusat religius juga tidak memungkinkan. Semua situs religius Arab yang kita ketahui terletak di wilayah yang netral, yaitu yang tidak dikontrol oleh satu suku saja. Ini dikarenakan ibadah di situs-situs seperti itu memerlukan gencatan senjata di antara suku-suku yang ada. Gencatan-gencatan senjata itu akan lebih mudah dipelihara di tempat-tempat netral dimana tidak ada suku yang memiliki akses lebih ke tempat itu daripada suku-suku lainnya. Hal ini sudah tentu akan menyingkirkan Mekkah (dari kriteria tempat netral – Red) oleh karena catatan Islam dengan jelas menyatakan bahwa Mekkah dikontrol kaum Quraysh. (lihat di atas).
Bukti arkeologis (atau kurangnya bukti tersebut) untuk sebuah kota besar di situs yang kini dikenal sebagai Mekkah hanyalah hal yang memalukan. Kota yang dipandang penting di jazirah Arab sudah tentu akan meninggalkan jejak arkeologis yang signifikan, namun ini sama sekali absen dari catatan arkeologis.
Semua yang telah disebutkan di atas harus membawa kita pada konklusi bahwa Mekkah yang ada sekarang bukanlah tempat yang menjadi asal muasal Islam dan bahwa jutaan orang Muslim bersujud ke arah kota itu, yang kemungkinan besarnya tidak eksis hingga lama setelah kemunculan Islam. Fakta mengejutkan ini dikonfirmasi ketika kiblat (arah sembahyang) mesjid-mesjid mula-mula ditetapkan. (Topik ini akan lebih banyak dibahas dalam bagian 5.3). Sebelum kita mempelajari bukti ini, fokus kita akan kembali ke pertanyaan mengenai reliabilitas sumber-sumber utama untuk penulisan sejarah Islam.