Islam adalah Penyembahan Berhala

Orang Muslim ini kemudian berargumen, “Aku tahu dalam hatiku aku hanya berdoa kepada Allah Yang Maha Kuasa. Bukan kepada batu hitam yang terletak di salah satu sudut Ka’bah. Aku berdoa dengan cara yang diajarkan nabi Muhammad SAW. Niatku bersih saat berdoa yaitu aku berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa”.

Tindakan anda menggambarkan niat anda. Itu seperti istri anda tidur dengan pria lain dan berkata kepada anda, “Sayang, aku tidaklah kafir karena saat aku di tempat tidur dengan pria lain aku hanya memikirkan dirimu”. Alasan gila seperti ini dapat memuaskan seorang Muslim, namun tidak bagi seorang yang rasional. Tuhan pun tidak bodoh.

Jika batu hitam merepresentasikan Tuhan, menghormatinya tentu bukanlah penyembahan berhala. Menyembah sebuah citra/gambaran mengenai Tuhan tidaklah meniadakan keesaan-Nya. Oleh karena batu hitam bukanlah avatar Tuhan dan  batu itu disakralkan, maka menghormatinya adalah penyembahan berhala. 

 

Saya berdiskusi dengan seorang Muslim yang berpendapat, “Orang Muslim tidak menyembah batu hitam di Ka’bah. Mereka hanya menyembah Allah Yang Maha Kuasa. Batu hitam adalah batu fondasi Ka’bah. Bukan berhala”. Kemudian ia menghina orang Hindu yang menyembah hewan-hewan dan patung-patung, dan menyebut saya sesat. Berikut ini adalah jawaban saya.

Semua bangunan didirikan di atas fondasi dan sebelum beton ditemukan semua bangunan dibuat dari batu dan setidaknya mempunyai 4 batu penjuru. Namun tidak seorangpun berjalan mengitarinya, menyentuh dan menciumi batu-batu itu. Ritual ibadah Haji adalah penyembahan kepada batu; suatu bentuk penyembahan berhala yang paling primitif.

Penyembahan kepada hewan bukanlah sesuatu yang tidak rasional. Orang tidak menyembah hewan itu, melainkan apa yang direpresentasikan hewan tersebut. Oleh karena hidup dipandang sebagai nafas Tuhan, semua makhluk hidup dipandang sebagai manifestasi Tuhan. Penghormatan terhadap kehidupan adalah sebuah cara menyembah Tuhan. Jika anda mengasihi seseorang, anda menaruh potretnya di tempat dimana anda dapat melihatnya. Bukan potret itu yang anda hormati atau kasihi, melainkan pribadi yang direpresentasikannya. Potret itu adalah pengingat akan orang yang anda kasihi. Itu adalah sebuah cara bagi anda berkomunikasi dengan orang tersebut secara mental dan secara spiritual.

Tidak seorangpun, kecuali Muhammad dan para pengikutnya, yang begitu bodohnya menganggap sebuah patung binatang yang terbuat dari tanah liat atau kayu secara intrinsik bersifat sakral. Kesakralannya terletak pada apa yang direprentasikannya. Ijinkan saya menjelaskannya dengan menggunakan contoh. Emas mempunyai nilai intrinsik, sedangkan uang kertas tidak mempunyai nilai intrinsik. Nilai uang kertas ada dalam apa yang direpresentasikannya. Demikian pula, hewan-hewan yang dipandang sakral oleh sekelompok orang adalah avatar. Mereka tidak dipandang sakral secara intrinsik. Mereka dihormati oleh karena nafas Tuhan yang ada dalam diri mereka. Patung-patung juga tidak sakral. Mereka merepresentasikan sesembahan, sama seperti potret yang mengingatkan anda akan orang yang anda kasihi.

Apakah yang direpresentasikan batu hitam di Ka’bah? Tidak ada! Batu itu disembah karena dipercayai secara intrinsik ia sakral. Ini adalah penyembahan berhala.

Ironi ini dirasakan oleh Umar. “Abdullah ibn Sarjis meriwayatkan, ‘Aku melihat si botak, yaitu ‘Umar ibn Khattib (Allah berkenan kepadanya), menciumi batu itu dan berkata: Demi Allah, aku mencium dengan penuh kesadaran akan fakta bahwa engkau adalah sebuah batu dan engkau tidak dapat melakukan apa yang baik maupun yang jahat; dan jika aku tidak melihat Utusan Allah (SAW) mencium engkau, aku pun tidak akan mencium engkau’” [Sahih Muslim: 7: 2914]

Seperti yang anda lihat, hanya dengan sedikit pikiran yang rasional dan tidak masuk akal (yang tidak dimiliki orang Muslim), kita dapat menyimpulkan bahwa orang Muslim adalah penyembah berhala. 

Orang Muslim ini kemudian berargumen, “Aku tahu dalam hatiku aku hanya berdoa kepada Allah Yang Maha Kuasa. Bukan kepada batu hitam yang terletak di salah satu sudut Ka’bah. Aku berdoa dengan cara yang diajarkan nabi Muhammad SAW. Niatku bersih saat berdoa yaitu aku berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa”.

Tindakan anda menggambarkan niat anda. Itu seperti istri anda tidur dengan pria lain dan berkata kepada anda, “Sayang, aku tidaklah kafir karena saat aku di tempat tidur dengan pria lain aku hanya memikirkan dirimu”. Alasan gila seperti ini dapat memuaskan seorang Muslim, namun tidak bagi seorang yang rasional. Tuhan pun tidak bodoh.

Jika batu hitam merepresentasikan Tuhan, menghormatinya tentu bukanlah penyembahan berhala. Menyembah sebuah citra/gambaran mengenai Tuhan tidaklah meniadakan keesaan-Nya. Oleh karena batu hitam bukanlah avatar Tuhan dan  batu itu disakralkan, maka menghormatinya adalah penyembahan berhala. 

Ketika anda menghadap sebuah batu saat anda sedang berdoa, anda menyembah batu itu. Tuhan ada dimana saja. Mengapa membatasi-Nya pada suatu tempat? Jika Tuhan itu tidak berwujud, bukankah itu juga berarti bahwa Ia tidak dibatasi oleh suatu tempat? Dan mengapa rumah Tuhan harus berwarna hitam? Bukankah setidaknya berwarna putih untuk merepresentasikan terang dan keagungan-Nya? Hitam merepresentasikan kegelapan, seringkali diasosiasikan dengan setan.

Bukankah kita menghina Tuhan jika kita menyembah avatar-Nya? Kita berasumsi bahwa Tuhan lebih masuk akal daripada manusia. Apakah anda akan merasa terhina jika anda mendapati bahwa saat anda tiada, anak-anak anda menggantung potret anda di dinding, menghiasinya dengan bunga-bunga dan setiap hari berdiri di hadapannya dan berbicara kepada anda dalam pikiran mereka? Kecuali anda sudah tidak waras, bukan hanya anda tidak merasa terhina, anda juga senang karena mereka mengingat anda. Tuhan tidak gila; tapi Muhammad gila. Itulah sebabnya ia berpikir adalah syirik jika menyembah avatar dan gambaran Tuhan.

Salahkah jika menggambarkan Tuhan? Natur Tuhan adalah roh dan roh itu tidak berwujud. Tetapi Tuhan dapat memanifestasikan diri-Nya dalam bentuk apapun yang diinginkan-Nya, dan kepada kita manusia Ia memanifestasikan diri-Nya dalam rupa manusia. Dalam Alkitab kita membaca bahwa Tuhan menampakkan diri kepada Musa dalam wujud semak yang terbakar. Manusia adalah manifestasi tertinggi Tuhan di atas muka bumi.

Hari-hari ini, dengan kemajuan ilmu medis dan semakin banyak orang dapat diresusitasi dari kematian. Sejumlah besar orang-orang tersebut mengatakan sementara mereka secara klinis telah mati mereka pergi ke alam lain dan bertemu dengan makhluk-makhluk spiritual, termasuk para kerabat mereka yang telah meninggal. Beberapa dari mereka mengatakan mereka bertemu Tuhan. Kadangkala Tuhan menampakkan diri pada mereka dalam wujud terang yang murni dan kadangkala Ia berwujud manusia. Oleh karena itu, tidak masalah jika menggambarkan dalam wujud manusia. Jika Tuhan tidak suka terlihat sebagai manusia, maka Ia tidak akan menampakkan diri sebagai manusia.

Jika orang Muslim dapat berpikir secara rasional, mereka akan tahu bahwa peraturan-peraturan yang dibuat Muhammad untuk kita adalah hal yang bodoh. Ia membuat bagi kita peraturan-peraturan gila dan membunuh orang-orang yang tidak percaya pada aturan-aturan tersebut. Tuhan tidak merasa terhina jika orang menggambar-Nya, menyembah-Nya melalui avatar-Nya, dan makhluk-makhluk hidup. Ia terhina jika anda membenci sesama dan membunuh anak-anakNya dalam nama-Nya. Neraka adalah bagi orang-orang yang membenci, bukan bagi orang-orang yang menyembah Tuhan melalui avatar-Nya.

Siapapun yang berakal sehat dapat melihat bahwa orang Muslim adalah satu-satunya umat yang menyembah berhala, sedangkan orang-orang yang mereka tuduh sebagai penyembah berhala sesungguhnya monoteis.

Yang disebut sebagai agama-agama politeis percaya kepada satu sesembahan utama, sementara mereka juga menyembah sesembahan-sesembahan minor yang bertindak sebagai pengantara mereka dengan Tuhan. Orang Quraish percaya kepada Tuhan Pencipta langit dan bumi yang bernama Hubaal. Mereka menyebutnya dengan gelarnya yaitu al Lah (Tuhan; Inggris: the God). Lambangnya adalah bulan sabit. Semua sesembahan minor adalah pengantaranya. Dalam Kitab Dewa-dewa (Kitab Al-Asnam), Hisham Ibn Al-Kalbi menulis, “Orang Quraysh selalu mengitari Ka’Bah dan berkata:

 Demi  Allat dan al-‘Uzza,

dan Manah, ketiga ilah disampingnya.

Sesungguhnya mereka adalah wanita-wanita yang paling dimuliakan, 

Yang syafaatnya harus dicari.”

Ini dikonfirmasi dalam Sura 10:18. “Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata: "Mereka itu adalah pemberi syafa'at kepada kami di sisi Allah." Katakanlah: "Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik di langit dan tidak (pula) di bumi? "Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dan apa yang mereka mempersekutukan (itu)”.

Ayat ini adalah bukti lain akan kebebalan Muhammad. Sebuah syafaat tidak setara dengan Tuhan. Ini  disebut kekeliruan, argumen yang dibuat-buat dan mudah disanggah.

Apakah Muhammad berhasil dengan ide syafaatnya? Sama sekali tidak! Ia mengklaim tingkatan itu untuk dirinya sendiri. Perhatikanlah kutipan berikut ini.

‘Abdullah bin ‘Umar meriwayatkan, “Seseorang terus-menerus minta sesuatu pada orang-orang hingga ia tiba pada Hari Kebangkitan tanpa sepotong daging pun di wajahnya”. Nabi menambahkan, “Pada Hari Kebangkitan, matahari akan mendekat (kepada umat) hingga keringat mencapai pertengahan telinga, jadi, ketika semua orang berada dalam keadaan itu, mereka akan meminta pertolongan dari Adam, dan kemudian Musa, dan kemudian Muhammad (SAW)”. Narator berikut menambahkan “Muhammad akan bersyafaat dengan Allah untuk menghakimi manusia. Ia akan meneruskannya hingga ia memegang pintu (firdaus) dan kemudian Allah akan meninggikannya kepada Maqam Mahmud (hak istimewa bersyafaat, dsb). Dan semua orang dalam perkumpulan itu akan menaikkan pujian mereka kepada Allah”. [Bukhari, 2: 24: 553]

Klaim bahwa Muhammad adalah satu-satunya pengantara bagi Tuhan dan manusia diulangi dalam banyak ayat di Quran. Saya mengundang pembaca untuk mengunduh dan membaca debat saya mengenai topik ini dengan Mr. Javed Ahamad Ghamedi dan Dr. Khalid Zaheer dalam menyelidiki Islam secara menyeluruh.

Jadi jika menurut Muhammad adalah syirik bila percaya pada para pengantara dan pengantara itu setara dengan Tuhan, tidakkah ia menjadikan dirinya sendiri setara dengan Tuhan? Ia melengserkan para pengantara Tuhan hanya untuk menduduki posisi mereka. Oleh karena itu bukankah adil jika mengatakan bahwa Islam adalah penyembahan berhala karena mempromosikan penyembahan kepada batu dan adalah syirik jika meninggikan Muhammad kepada tingkatan Tuhan? Sekarang anda dapat melihat bagaimana Muhammad menuduh orang lain melakukan dosa yang ia pun melakukannya.